Bagaimana Sebaiknya Kita Reorganisasi Tim Teknologi?

Bagaimana Sebaiknya Kita Reorganisasi Tim Teknologi?
Photo by Marvin Meyer / Unsplash

Beberapa waktu yang lalu, saya diajak makan malam bersama salah satu Direktur Teknologi (CTO) dari sebuah perusahaan rintisan teknologi yang memiliki tim teknologi dalam jumlah yang signifikan. Di bawah pimpinan beliau, terdapat sekitar 400 software engineers dalam organisasi teknologinya.

Di tengah suasana makan malam yang santai, kami berdiskusi tentang berbagai hal, mulai dari pengalaman kami masing-masing dalam membangun tim teknologi hingga berbagai suka duka dalam berinteraksi dengan investor perusahaan rintisan.

Akhirnya, kami sampai pada satu topik yang cukup menarik. CTO tersebut sedang dalam proses melakukan reorganisasi pada tim teknologinya, jadi beliau bertanya bagaimana sebaiknya ia mengatur struktur tim dan proses teknologi yang ada agar dapat lebih produktif bagi bisnis dan perusahaan?

Diskusi mengenai topik ini berlangsung cukup lama dan larut. Berikut adalah beberapa poin yang saya catat dan merasa perlu untuk dibagikan. Namun, sebelum kita memasuki pembahasan yang lebih dalam, mari kita start with why.

Kenapa sih kita butuh reorganisasi?

Terdapat beragam alasan mengapa kita harus mempertimbangkan adanya reorganisasi dalam perusahaan kita. Reorganisasi ini bisa dalam bentuk perubahan struktur tim, cara kerja tiap tim, maupun proses kolaborasi saat berbagai anggota tim perlu berkerjasama satu dengan lainnya.

Pertumbuhan ukuran tim

Alasan yang sering kali muncul untuk melakukan reorganisasi dalam perusahaan teknologi adalah pertumbuhan ukuran tim yang sangat signifikan.

Rearing tomatoes for self support
Photo by Markus Spiske / Unsplash

Antara tahun 2016 hingga 2019, jumlah anggota tim teknologi di bawah saya tumbuh dari 25 orang menjadi lebih dari 650 orang. Pertumbuhan yang melampaui 25 kali lipat seperti ini tentunya penuh dengan risiko munculnya bottleneck atau silo antara tim yang ada. Hal ini menyebabkan saya sering membutuhkan introspeksi terhadap proses atau struktur yang ada dalam tim.

Contoh reorganisasi yang pernah saya lakukan seiring dengan pertumbuhan tim teknologi saya di atas, misalnya:

  • Dari 25 ke 50
    • Memperjelas jalur karier bagi para product engineers dan mereorganisasi tingkatan-tingkatan mereka menjadi berdasarkan tingkat keahlian
    • Melakukan reorganisasi tim-tim yang ada menjadi cross-functional development squads
    • Mengenalkan metodologi agile untuk meningkatkan kolaborasi antar tim
  • Dari 50 ke 100
    • Menambahkan observabilitas dan automated alerting ke berbagai sistem yang dikembangkan untuk memastikan adanya pengawasan 24/7 terhadap sistem
    • Mengenalkan prosedur penanganan insiden darurat menggunakan data hasil observabilitas di atas
    • Memformalkan struktur guild sebagai komunitas internal untuk belajar dan berbagi pengetahuan bersama
  • Dari 100 ke 200
    • Membangun CI/CD yang baik, termasuk merge & deploy tools berbasis chatbot
    • Membangun sistem A/B testing internal, sehingga setiap tim dapat melakukan data-driven development
    • Memisahkan development squads menjadi product-focused squads dan platform-focused squads
  • Dari 200 ke 400
    • Mengenalkan struktur Program Management Office untuk meningkatkan koordinasi lintas fungsi dan lintas tim
    • Membangun tim agile coach untuk melatih dan memperbaiki proses kerja tim-tim yang ada
    • Melakukan reorganisasi pengelompokan development squads dengan tema yang sama menjadi satu development tribe
  • Dari 400 ke 800
    • Memperkuat lapisan middle management melalui establishing & coaching beberapa Head of Engineering baru
    • Meluncurkan program untuk membantu individual contributors yang tertarik menjadi engineering managers
    • Melakukan inisiasi perubahan cara kerja yang lebih fleksibel antara squads & tribes

Perubahan kondisi pasar

Selain alasan pertumbuhan dan perkembangan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan, reorganisasi juga bisa diperlukan karena adanya perubahan dalam kondisi pasar.

Stock and Crypto Market Values
Photo by Maxim Hopman / Unsplash

Misalnya, adanya target dari investor tertentu agar perusahaan melakukan ekspansi ke segmen pasar baru, atau perencanaan bisnis yang sebelumnya telah dilakukan ternyata sulit untuk direalisasikan.

Dalam situasi tersebut, organisasi teknologi yang ada mungkin perlu diubah agar dapat menjawab tantangan baru bagi perusahaan. Dewan Direksi yang baik tentunya akan melakukan evaluasi dan revisi organisasi secara berkala untuk memaksimalkan peluang perusahaan dalam mencapai misinya.

Apa pertanda bahwa perusahaan memerlukan reorganisasi?

Kalau kita sebagai manajemen merasa bahwa:
- Produktivitas semakin menurun padahal jumlah pekerja menaik
- Banyak tim yang memiliki dependensi pekerjaan satu sama lain dan perlu tunggu-menunggu
- Waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan produk ke pasar menjadi semakin panjang

Semua di atas adalah pertanda lazim bahwa sudah saatnya kita perlu melakukan evaluasi terhadap struktur dan cara kerja organisasi kita saat ini.

Terus, kenapa CTO di cerita awal ingin ada reorganisasi ya?

Oke, mari kita kembali ke obrolan makan malam di awal tulisan ini. Permasalahan yang dihadapi oleh sang CTO saat ini terdengar cukup familiar:

  • Struktur mereka saat ini belum mengalami banyak perubahan selama beberapa tahun terakhir.
  • Ada tim yang dibentuk berdasarkan area keahlian tertentu, misalnya QA Engineering, Infra Engineering, Data Engineering, dan sebagainya.
  • Ada juga beberapa tim besar yang dibentuk sesuai dengan struktur tim bisnis yang ada.
  • Namun, tim bisnis merasa bahwa tim teknologi seringkali saling menunggu dan lamban dalam melakukan pengembangan yang mereka perlukan.
  • Perusahaan juga ingin melakukan ekspansi pasar secara besar-besaran dan memasuki segmen yang memerlukan pengembangan teknologi baru.

Dengan mempertimbangkan seluruh konteks yang ada, CTO tersebut bertanya-tanya, apakah tim teknologi yang ada saat ini dapat tetap seperti sekarang, atau apakah mereka perlu melakukan reorganisasi dengan menambahkan tim teknologi baru khusus untuk ekspansi bisnis yang sedang direncanakan?

Jawaban saya adalah, "tidak dua-duanya."

Reaksi sang CTO (slightly exaggerated by me)

Satu hal yang selalu menjadi pedoman utama saya setiap kali merancang sebuah organisasi teknologi adalah, kita harus memprioritaskan perspektif pelanggan di atas kebutuhan bisnis.

Sebagai ilustrasi, mari kita bayangkan skenario penggunaan sebuah perusahaan yang menyediakan platform e-commerce. Dari skenario tersebut, kita mencoba untuk memposisikan perspektif kita dari sudut pandang salah satu aktor pengguna utama dalam platform tersebut: penjual.

  1. Penjual tertarik untuk menjual dalam platform e-commerce.
  2. Penjual mendaftar ke platform dan mengunggah produknya.
  3. Produk yang diunggah terjual, penjual mendapatkan keuntungan.
  4. Penjual menggunakan keuntungan tersebut untuk membeli fitur premium dalam platform.
  5. Adanya fitur premium tersebut menyebabkan jumlah produk yang terjual meningkat menjadi lebih banyak lagi.
  6. Penjual pun mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Enam langkah customer journey di atas biasanya memiliki mapping langsung dengan tim bisnis yang berbeda-beda dalam sebuah perusahaan e-commerce:

  • Langkah 1-2, akuisisi dan onboarding penjual, biasanya dikelola oleh tim pemasaran.
  • Langkah 3 biasanya didukung oleh tim komunitas agar penjual bisa mengadopsi praktek penjualan yang efektif.
  • Langkah 4-6 diurus oleh tim penjualan karena berkaitan dengan upsell ke fitur premium.

Dari contoh di atas, sebuah perusahaan teknologi yang berorientasi pada bisnis akan membagi tim teknologinya menjadi tiga tim yang terpisah, masing-masing dengan pemangku kepentingan bisnis dari tim pemasaran, tim komunitas, serta tim penjualan.

Memiliki tiga tim teknologi yang terpisah untuk menangani satu customer journey akan mengakibatkan user experience dipenuhi banyak friction saat bertransisi dari langkah yang ditangani oleh satu tim teknologi ke langkah yang dikelola oleh tim teknologi lainnya.

Hoppertron, Funnel-analysis-example, CC BY-SA 4.0

Transisi langkah dalam sebuah customer journey disebut sebagai conversion funnel dan analisis dari funnel tersebut bisa divisualisasikan seperti chart di atas.

Friction antara langkah dalam sebuah funnel menyebabkan jumlah pengguna yang sampai di langkah terakhir (membeli fitur premium) menjadi semakin kecil. Pendapatan perusahaan dari upsell fitur premium juga menjadi tidak optimal.

Selain itu, upaya untuk meningkatkan conversion rate dari end-to-end funnel akan menjadi lebih sulit dan lambat karena memerlukan koordinasi antara tim yang berbeda-beda untuk perancangan dan pengembangan teknologinya.

Terus, model seperti apa yang lebih baik bagi perusahaan teknologi?

Mari kita bandingkan model di bagian sebelumnya dengan model dimana terdapat satu tim teknologi yang berfokus pada end-to-end customer journey, dari onboarding sampai upsell.

Tim teknologi ini menjadi memiliki kapasitas dan kelengkapan untuk melakukan intervensi pada setiap titik dari funnel yang ada, sehingga pengalaman penjual dari awal hingga akhir menjadi as seamless as possible.

Tapi bagaimana dengan kepentingan bisnis yang dimiliki oleh tim pemasaran, komunitas, dan penjualan?

Tim teknologi ini bisa memiliki mitra di sisi bisnis dalam bentuk dewan stakeholders yang terdiri dari perwakilan dari berbagai tim bisnis yang memiliki kepentingan terhadap produk teknologi yang dikembangkan. Masing-masing perwakilan bisa memberikan masukan terkait prioritas pengembangan dan mitigasi insiden yang dilakukan oleh tim teknologi tersebut.

Photo by Campaign Creators / Unsplash

Dengan model seperti di atas, tim teknologi bisa fokus ke arah customer journey, sambil tetap memperhatikan kepentingan bisnis. Namun perlu ditekankan bahwa jangan sampai model ini bergeser menjadi model "design by committee" dimana keputusan akan membutuhkan waktu lama untuk ditentukan karena perlu diputuskan secara kolektif oleh seluruh anggota dewan stakeholders.

Karena itu, perusahaan perlu juga menunjuk satu pembuat keputusan final dari sisi bisnis sebagai tiebreaker dan decision maker bagi dewan tersebut.

Poin akhir yang berkaitan dengan reorganisasi ke model seperti di atas, adalah menentukan KPI yang menjadi acuan utama (northstar) dari tim teknologi ini. Tanpa adanya satu northstar KPI, tim teknologi ini akan terpecah belah ke berbagai arah sekaligus oleh berbagai tim bisnis yang ada di dalam dewan stakeholders.

Saya selalu suka KPI yang merupakan turunan dari KPI yang berlaku di seluruh perusahaan. Dalam konteks perusahaan e-commerce di atas, jika misalnya salah satu KPI perusahaan adalah meningkatkan revenue guna menaikkan profitabilitas perusahaan, maka KPI untuk tim teknologi (dan juga untuk dewan stakeholders terkait) juga bisa dalam bentuk revenue.

Dengan semua building blocks dari model di atas sudah siap, tim teknologi dapat merencanakan apa yang hendak mereka bangun dengan menggunakan dampak terhadap revenue perusahaan sebagai pedoman.

Misalnya, jika tim komunitas ingin mengembangkan fitur forum bagi sesama penjual untuk saling bertukar pengalaman, namun data dari conversion funnel menunjukkan bahwa penurunan terbesar terhadap revenue dari fitur upsell justru terjadi ketika penjual bingung tentang cara membeli fitur tersebut, maka tim teknologi bisa menunda permintaan dari tim komunitas dan mengarahkan fokusnya untuk bekerja sama dengan tim penjualan selama beberapa bulan ke depan guna meningkatkan bagian dari funnel tersebut.

Esensi utama dari model ini adalah baik tim bisnis dan teknologi jadi sama-sama mengikuti kepentingan customer, bukan tim teknologi mengikuti kepentingan bisnis atau vice versa.

Kesimpulan utama: saat melakukan reorganisasi tim teknologi, utamakan pengorganisasian mereka along the end-to-end customer journey untuk memaksimalkan dampak tim teknologi bagi bisnis.

Apakah kepentingan bisnis justru tidak terpenuhi?

Kalau misalnya tim teknologi dan tim bisnis dua-duanya diorganisir mengikuti end-to-end customer journey, bisa-bisa ada kepentingan bisnis yang tidak terpenuhi dong? Bagaimana dengan titipan investor bahwa perusahaannya ingin melakukan ekspansi bisnis besar-besaran, misalnya?

Oh, tetap bisa dong.

Model di bagian sebelumnya bisa tetap adaptif terhadap kebutuhan yang muncul dari sisi bisnis. Misalnya, ekspansi bisnis ke negara baru bisa tetap dilakukan tim teknologi dengan mengembangkan internationalization dan localization terhadap antarmuka produk teknologinya.

Bedanya dengan membangun tim teknologi yang terpisah dan khusus hanya untuk ekspansi bisnis adalah kita tidak perlu membangun ulang expertise tim akan pengguna dari produk teknologinya.

Tim yang sudah bertahun-tahun membangun insights terhadap behavior dari penjual dalam platform e-commerce tersebut bisa membawa expert insights mereka untuk memaksimalkan peluang keberhasilan dari ekspansi bisnis perusahaan.

Untuk lebih menekankan bahwa fokus pada customer journey adalah pilihan yang terbaik bagi perusahaan produk teknologi, saya juga ingin membagikan cuplikan wawancara berikut ini dari Jeff Bezos pada tahun 1999. Wawancara tersebut diadakan ketika perusahaan yang didirikan oleh beliau (Amazon.com) masih dalam fase scale up besar-besaran:

Fast forward ke menit 02:46 jika timestampnya tidak terbuka dengan baik

Ketika itu perusahaan internet masih sangat baru, dan pewawancara berusaha menggali dari Jeff Bezos terkait apa yang menjadi unique selling proposition (USP) Amazon.com sebagai sebuah e-commerce.

Jeff Bezos berkali-kali menekankan bahwa yang menjadi USP dari Amazon.com bukanlah keberadaan mereka di internet, tapi obsesi mereka terhadap pelanggan. Ketika ditanya bagaimana dengan kepentingan dari shareholders, Bezos menjawab:

"In the long term there is never any misalignment between customer interests & shareholder interests"

Obsesi terhadap pelanggan tersebut menjadi bagian dari Amazon Leadership Principle sejak awal pendiriannya hingga saat ini. Jadi prinsip Bezos bahwa berfokus pada kepentingan pelanggan akan membantu perusahaan dan shareholders perusahaan secara jangka panjang memang teruji oleh waktu.

Kesimpulan

Banyak cara untuk melakukan reorganisasi tim teknologi untuk membantu tercapainya misi perusahaan.

Bagi perusahaan yang mengembangkan produk teknologi, salah satu pendekatan terbaik adalah untuk menstrukturkan tim teknologi dan tim bisnis yang ada sesuai dengan end-to-end customer journey yang memberikan value tinggi bagi pelanggannya.

Jangan takut kalau pendekatan tersebut tidak memaksimalkan potensi bisnis bagi perusahaannya. Seperti kata Jeff Bezos, "in the long term there is never any misalignment between customer interests & shareholder interests."


✍🏼
Catatan Penulis

Artikel ini adalah tulisan perdana bagi newsletter ini. Kalau kamu merasa artikel ini membantu, daftar dalam newsletternya (gratis!) agar tidak melewatkan tulisan-tulisan berikutnya.

Meanwhile, kalau kamu manajemen perusahaan dan ingin berdiskusi terkait struktur dan organisasi teknologi dalam perusahaan kamu, kamu bisa reach out saya melalui LinkedIn.